Menuju Jalan-NYA
Pagi itu, cuaca kurang bersahabat. Asap-asap bercampur kabut
kembali menyelubungi kotaku. Paru-paruku mulai terasa sesak dan sakit. Kupaksa
mengayuh sepedaku lebih kencang lagi. Jalanan yang masih sepi membuatku merasa
lega, karena ada kemungkinan gerbang sekolah belum ditutup. Para penjaja
makanan di trotoar persimpangan jalan sekolah juga tak terlihat. Mungkin mereka
lebih memilih untuk beristirahat di rumah ketimbang bergulat dengan kabut asap
pagi ini. Harus kuakui, kabut asap pagi ini bergitu tebal, sehingga pandangan
mataku tidak dapat melihat hingga jarak yang jauh. Jadi, kuputuskan untuk
memperlambat kakiku mengayuh sepeda peninggalan ayahku itu. Lagipula, gerbang
sekolah tak akan mungkin ditutup begitu cepat karena cuaca yang kurang
mendukung transportasi, “Selamat
pagi, Pak!” sapaku pada seorang lelaki tua setengah baya, tepatnya penjaga
sekolahku, Pak Edi. “Selamat pagi, Nak!” balasnya tanpa
senyum yang biasanya ia lontarkan padaku. Lelaki itu kembali mengerjakan
tugasnya, menyiram bunga-bunga dan tumbuhan di sekitar gerbang sekolah.
Kubelokkan sepedaku ke lapangan parkir. Di sana, hanya tampak beberapa sepeda
motor milik teman sekelasku. Heran, mengapa mereka begitu cepat datang pagi
ini, pikirku. Kuayunkan langkah menuju koridor sekolah, melewati ruang kepala
sekolah dan tata usaha. Kusapa guru-guru dan beberapa karyawan sekolah lainnya.
Tampak beberapa guru sibuk menelepon dan berlari kecil menuju ruang wali kelas.
Tak seperti biasanya pagi hari tampak begitu sibuk. Beberapa langkah lagi aku akan tiba di kelasku tercinta, ruang
kecil tempat aku menerima ilmu dan binaan modal untuk masa depanku. Karena
asyik melamun, aku tak melihat ada sebuah batu tepat dimana kakiku akan
berpijak. Dan terjadilah hal yang memilukan itu. Luka kecil di sekitar lutut
dan siku memang agak menyakitkan, namun aku tak mau ambil pusing menghabiskan
waktu untuk mengurus hal kecil seperti itu. Kecil? Aku tahu luka sebesar itu
dapat menimbulkan infeksi jika tidak langsung ditangani, tapi, biarlah.
Sayup-sayup kudengar suara isak tangis dan bisikan-bisikan kecil dari kelasku. Rasa takut merasuki pikiranku sejenak,
mungkinkah sepagi ini hantu-hantu masih bergentayangan? Kuberanikan diri untuk
berdiri. Kaki-kaki yang masih perih kupaksa menyokong tubuhku yang besar ini.
Suara-suara itu kembali terdengar, bahkan lebih jelas dari sebelumnya. Aku
bersandar pada dinding dan menunggu rasa sakit segera menjauh, sembari kudengar
suara-suara yang makin lama makin terdengar seperti percakapan. “Sudahlah, anak-anak. Mungkin ini
sudah ditakdirkan Tuhan untuknya dan untuk kita semua. Lebih baik nanti,
sepulang sekolah, kita atur lagi waktu kita untuk menjenguk Arga.” “Arga? Menjenguk?” aku agak terkejut
ketika guruku menyebutkan nama Arga. “Satu hal lagi, anak-anak. Ibu mohon
kalian tidak menceritakan hal ini kepada Ridwan dulu. Sepertinya dia tak akan
siap untuk menerimanya sekarang. Ibu takut akan terjadi hal-hal yang kurang
baik. Assalamualaikum,” lanjutnya. Bagaikan
dibantu oleh para malaikat, aku berjalan dengan menyeret kaki yang masih sakit.
Saat aku hendak menyentuh gagang pintu kelas, beliau sudah lebih dulu membuka
pintu. “Ridwan?” ekspresi muka
guruku berubah seketika, antara terkejut dan cemas, “cepat sekali kamu datang
hari ini?” “Ceritakan, Bu! Ada apa
dengan Arga?” Bu Rahmi mulai
terlihat bimbang. Tangannya sibuk memainkan jemari-jemari kecilnya. Nafasnya
sudah tak beraturan lagi, seperti sedang menahan tangis. Sesaat kemudian,
beliau menarik tanganku, dan melangkah menuju ruang guru.*** Uap dari teh yang disajikan oleh Bu Rahmi
sudah mulai berkurang jumlahnya, namun aku masih belum menyentuhnya sama
sekali. Bu Rahmi masih menggenggam saputangan yang digunakannya untuk menyeka
wajahku. “Ridwan?” Mulutku
seakan terkunci dengan erat, tak memedulikan Bu Rahmi yang kini menggoncangkan
tanganku, menyadarkanku dari lamunan. “Ridwan?
Tolong jawab Ibu, Nak. Ibu tahu ini adalah cobaan yang sangat berat buat kamu,
tapi kamu harus selalu ingat pada Tuhan, berdoa dan berpasrah. Ibu yakin Tuhan
tak akan memberikan cobaan yang begitu berat buat kalian berdua, juga buat kita
semua.” Air mataku menetes tiba-tiba,
setelah berapa lama kucoba untuk menahannya. Tangisku seakan-akan sudah siap
meluncur. Syukurlah, Bu Rahmi mengerti situasinya, dan beliau menyerahkan lagi
saputangan putihnya ke arahku. Mata Bu Rahmi kini mulai berkaca-kaca, entah
sedih memikirkan keadaan Arga, atau malah bingung memikirkan cara untuk
menenangkanmu. “Sekarang
pulanglah, Ridwan. Cepat atau lambat engkau akan mengerti.” Aku segera menarik ranselku dari
kursi disebelahku. Aku berlari kecil tanpa mengucapkan salam sebelumnya. Tepat
setelah aku sampai di muka pintu, aku berbalik badan dan menatap Bu Rahmi
sejenak. “Bu…” “Ya, Nak?” Kini
aku tak kuasa menahan haru dan air mata lagi. Kulempar ranselku seketika dan
berlari ke arah Bu Rahmi. Disana, beliau sudah mengulurkan tangannya, bersiap
menerima pelukanku untuk menangis sejadi-jadinya. Air mataku membasahi ujung
jilbab Bu Rahmi. Tangannya yang hangat sibuk membelai rambut dan punggungku,
membantu mencoba menghentikan tangisku. “Sudahlah,
Ridwan, pulanglah, engkau kelihatan sangat pucat sekarang. Atau Ibu akan
meminta Pak Erdo untuk mengantarmu pulang dan menjelaskan semuanya pada ibumu,
bagaimana?” Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Bu Rahmi. Entah mengapa aku
menggeleng tanda tak setuju, padahal di dasar hatiku aku menjerit, memohon ada
orang yang dapat menemaniku, apalagi Pak Erdo, guru pengajar bimbingan
konseling yang favorit di kalangan siswa, mempunyai segudang trik penyelesaian
masalah, yang akan mengantarkanku pulang dan mencari jalan keluar dari masalah
ini. Kutatap lagi wajah Bu
Rahmi. Air mata mulai menetes satu persatu dari sudut ekor matanya yang indah.
Kucium tangannya dan segera berlalu dari ruangannya. Di jalan, entah sudah
berapa pengendara yang memaki dan mengutukku karena aku menghambat jalan mereka
dan ingin menabrakku. Di pikiranku hanya terlintas bayangan selang-selang yang
kini mungkin sudah bertambah jumlahnya, terpasang di seluruh bagian tubuh Arga. Aku mengenal Arga ketika kami bersama-sama
diutus oleh pihak sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat sekolah
berprestasi se-Indonesia. Aku dipilih untuk mewakili bidang studi fisika,
sementara Arga ditunjuk untuk memegang bidang kimia. Aku sangat heran, mengapa
aku yang serba tak bisa ini dapat terpilih menjadi duta sekolahku untuk terjun
ke iven sepenting itu. Namun, dialah, Arga, malaikat yang diutus untuk menjaga
dan mengajarkanku berbagai macam hal, dia mahir dalam bidang fisika dan kimia,
pemikirannya sangat luas dan suka mencari sesuatu yang menantang, selain itu,
kami sering mendiskusikan hal-hal yang berbau agama, karena harus kuakui, aku
sudah lama tertarik mempelajari Islam dan ingin menjadi pengikut Nabi Muhammad
SAW. Arga tidak pernah marah akan setiap pertanyaan yang kupikir menjengkelkan
dan bahkan dapat dikatakan tidak berguna. Ia selalu menjabarkannya secara
terperinci dan bisa diterima dengan akal sehat, apalagi kalau kami sudah
menyangkut urusan agama. Arga memang orang yang taat. Sejak itulah aku mulai dekat dengannya. Kami saling berbagi dan
menjaga rahasia. Bahkan, kami sering pergi ke bukit belakang sekolah untuk
bercerita atau sekadar menghabiskan waktu dan meninggalkan segala kepenatan
setelah menguras otak seharian. Kami mempunyai sebuah pohon yang kami beri nama
“Pohon Harapan”,dimana kami menggantungkan harapan kami di dahannya, agar kami
bisa saling mengingatkan dan mendukung sehingga cita-cita dan impian kami dapat
tercapai. Pohon haparan? Aku tertegun di
tengah jalan lagi. Di belakang, sudah ada seorang pengendara motor yang berteriak
ke arahku. Aku mengelak dan membiarkannya lewat. Sesudah itu, aku berbalik
badan dan mengambil jalan pintas menuju bukit belakang sekolah. Sudah sekian
lama aku tak menggantungkan harapan dan doaku di ranting pohon yang rindang
itu. Dan aku dibuat tertegun oleh pemandangan yang baru ini. Pohon itu seolah
hidup lagi dengan beranekaragam kertas berwarna-warni yang digantung pada
setiap dahan. Barangkali hanya ulah anak SD yang lewat saja, pikirku. Aku duduk
di singgasana yang biasa kutempati, melempar pandangan ke arah kota yang sudah
terlihat kecil. Lalu aku memutuskan untuk berbaring dan memandang langit. Saat
itu juga secarik kertas berwarna putih jatuh tepat diatas dadaku. Kuambil dan
kubaca dengan seksama. “…tak
seorangpun tahu kapan ia akan bertemu dengan utusan Allah yang mencabut
nyawanya. Tak seorangpun tahu sampai detik keberapa ia akan hidup. Tak seorangpun juga yang tahu sampai di
kilometer keberapakah ia akan melangkah. Banyak orang yang mati dalam pelukan
senja, buaian pagi, bahkan teriknya siang. Banyak orang yang telah berpulang
menghadap-Nya dan harus kita sadari, kita semua akan menyusul mereka sesegera
mungkin. Allah, jika sudah waktunya engkau menarik jiwaku, kuatkanlah hatiku
untuk berpasrah pada-Mu, sehingga aku dapat merasakan indahnya rahmat-Mu di
akhir hidupku…” Aku segera bangkit.
Angin sepoi-sepoi betiup melambaikan rambutku. Kubongkar semua memori otakku,
dan akhirnya aku menyadari bahwa tulisan itu adalah goresan tangan Arga.
Kusambar tas dari tanah dan berlari secepat mungkin ke rumah sakit untuk
menemui Arga.*** Dia kelihatan sangat
lemah tak berdaya. Ia merelakan dirinya dipasangi berbagai macam selang dan
beragam cairan obat-obatan. Kanker otak stadium empat telah merenggut masa
depannya. Kini dia hanya dapat terbaring dan menunggu malaikat menjemputnya.
Aku duduk di sebelahnya, menghitung setiap nafas yang ia hembuskan, terdengar
begitu berat dan tersiksa. Tangannya sudah kering dan rambut-rambut sudah tak
terlihat lagi di kepalanya. “Arga,
aku datang menjemputmu.” Tak ada jawaban. “Bukalah matamu, Arga, ayo kita
pulang. Kau tak cocok berada di tempat seperti ini. Ruang ini hanya untuk
orang-orang yang sakit. Kau tak sama seperti mereka, kau berbeda, kau masih
sehat. Ayolah, Arga, bangun dan kemasi barang-barangmu!” aku mulai berteriak-teriak,
tak peduli entah dia mendengar atau tidak. “Arga!!!” kulempar kertas yang tadi
kutemukan di atas bukit. “Kalau kau tidak juga bangun, jangan harap kita bisa
berteman seperti kemarin lagi!” Hanya ada suara detak jam dan alat pengukur
denyut jantung. Aku menjerit sekali lagi dan berlari menuju koridor. Brak! Aku membanting pintu kamar sekeras
mungkin, melampiaskan segala kekesalan dan kesedihanku. Kulempar tubuh ini ke
atas ranjang dan disanalah, aku menangis sepuasnya, hingga aku benar-benar
merasa lelah dan tak sadarkan diri. “Ridwan,
ayo bangun. Ada telepon dari mamanya Arga. Katanya ini persoalan penting, ayo
cepat! Beliau sedang menunggu kamu,” dengan keras Ibu menggedor pintu kamarku,
berusaha membuatku terjaga. Aku tersentak dan melihat ke arah jam. Sudah jam 9
malam! Aku bangkit dengan lemah dan keluar menuju ruang tamu. “Halo, Tante?.....Apa?!” tanpa pikir panjang
aku segera menarik jaket biru tuaku yang sudah kumal dari sofa ruang tamu. “Ma,
aku pergi dulu. Aku mau melihat Arga di rumah sakit. Akhirnya dia siuman!”
Sepatu yang kukenakan kurang sempurna, namun aku tak menggubrisnya sedikitpun,
malah aku ingin melempar sepatu itu jauh-jauh dan berlari menuju halte,
mengejar bus yang akan membawaku ke rumah sakit. “Tante, Arga dimana?” aku melihat mama Arga yang sedang duduk
di koridor tepat di seberang kamar Arga. “Wan, tadi Arga sempat siuman dan
mencarimu. Dia tetap bersikeras untuk meminta Tante mendatangkanmu.” “Sekarang
Arga ada dimana, Tante?” Mama Arga terdiam sesaat. “Dokter mengatakan bahwa kesadaran dia barusan akan memperparah
keadaannya. Jika dalam seminggu ini ia kembali koma dan masih belum dapat
membuka matanya dan berbicara seperti sediakala, maka ia akan meninggalkan kita
semua…” Tangis mama Arga pecah seketika. Aku segera duduk di sebelahnya. “Tante, Arga itu orangnya kuat dan tegar. Dia
tak mungkin meninggalkan kita secepat itu. Arga pasti bisa melewatinya. Kita
bisa berkumpul bersamanya lagi, tertawa bersama,…” ucapanku terhenti sesaat
ketika melihat dokter yang merawat Arga keluar. Kami segera bangkit menghampiri
dokter itu. “Saya tidak dapat
membantu banyak, Bu. Pernyataan saya yang tadi sepertinya sudah cukup untuk
mengganbarkan keadaan Arga sekarang. Kita hanya membutuhkan pertolongan-Nya
dari atas sana.” Tanpa memedulikan
perkataan dokter itu, aku segera menyerobot masuk ke kamar Arga. Kini
selang-selang itu sudah mulai bertambah dengan beberapa bekas suntikan di
sana-sini. Kuraih tangan sahabatku yang lemah itu, menciumnya dan berdoa, “Ya
Tuhan, kuatkanlah hati kami, berikan bantuan-Mu untuk temanku ini. Dia sudah
cukup menderita. Limpahkanlah belaskasihan-Mu ini untuk kami, Tuhan…
sembuhkanlah ia dari penyakit ini, ini sudah terlalu berat untuk ia terima…”
Aku menangis tersedu-sedu menciumi tangan Arga. Aroma obat sudah mulai
menguasai seluruh organ tubuhnya. Cairan infus mengalir setetes demi setetes ke
tangannya yang kaku. Aku merasakan ada seseorang yang
membelai daguku. Arga! Dia sadar lagi! “Arga? Kau sudah siuman? Akan
kupanggilkan dokter sebentar.” Aku telah bersiap menekan bel di atas
ranjangnya, sebelum ia menarikku lebih kuat dari sebelumnya. “…Wan…” suaranya
yang parau begitu menyayat hatiku, mencabiknya menjadi serpihan kecil, yang
kini menyadarkanku akan umurnya yang pasti tak akan lama lagi. “Ya?” balasku.
“…Aku… minta… maaf…” ia berbicara terbata-bata. “Aku… tak pernah… memberitahumu
bahwa… aku sudah mengidap… penyakit ini sejak lama..” nafasnya tersedak sampai
di situ. “Tante, tante!!” aku
berteriak memanggil mama Arga. Beliau kemudian masuk dengan setengah berlari.
“Astaga, Arga! Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nak. Ini benar-benar suatu
mukjizat. Tunggu sebentar, Arga, mama akan memanggil dokter!” Setelah mencium
kening Arga, mama Arga segera keluar, dan berteriak sekencangnya memanggil sang
dokter. Kukembalikan wajahku ke
arah Arga. Dia sedang menatapku dengan matanya yang cekung. Aku dapat melihat
begitu besar dan dalamnya penderitaan yang harus ditanggungnya. Namun itulah
Arga, sahabatku, yang selalu berdiri dan berusaha untuk menjadi kuat ketika
diterpa masalah yang akan menyeretnya jauh. “Aku
tak pernah menyalahkan engkau jika tidak pernah memberitahukan hal ini
kepadaku, Arga. Tapi sebagai teman yang telah lama mendampingimu, minimal kamu
mengatakan sedikit dari permasalaan ini kepadaku, agar aku dapat membantumu
keluar dari penyakit ini…” aku mulai berbicara terisak-isak. “Aku… aku tak mau
merepotkanmu, Wan. Kau sudah cukup lama membantuku, menemaniku ketika aku
sedang butuh teman. Itu sudah lebih dari cukup bagiku, dan sekarang aku tak mau
membawamu ke masalah yang lebih dalam lagi.” Suara Arga terdengar parau menahan
tangis agar suaranya terdengar lebih jelas. “Dan
sekarang, apakah kau dapat melihat betapa tertekannya aku mendapatkanmu terkena
penyakit kanker otak stadium akhir? Bukankah sekarang kau lebih merepotkan aku
lagi? Arga… Arga, kau…” Aku tak dapat melanjutkan ucapanku, malah sebaliknya
aku langsung memeluknya dan menangis di atas tubuhnya yang hangat dan lemah. Ia
berusaha kuat memelukku dan mengembalikanku ke keadaan semula. Diusapnya
kepalaku dan mendorong kecil tubuhku guna mengumpulkan celah untuk berbicara. “Wan, kau tahu apa yang kulihat ketika
aku koma kemarin? Aku melihat kita bertemu di suatu tempat, yang begitu indah,
berdua menghabiskan waktu, bergurau bersama angin dan kicauan burung merpati,
begitu terang dan tentram. Aku ingin mimpiku itu segera terwujud, selalu
bersamamu dalam suka maupun duka, menjelajahi Bumi Allah yang maha luas ini,
mengagumi keindahan-Nya dan bersyukur atas apa yang kita terima. Asalkan kita
bisa bersabar dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, derajat keimanan kita sudah
bertambah, jumlah pahala kita bertambah, dan kita dapat selalu lebih dekat
dengan-Nya.” Tangan Arga menggenggam lenganku lebih keras dari sebelumnya. “Ga, aku pasti akan selalu mengingat hal
itu. Yang penting kamu bisa sembuh. Hanya itu yang paling penting sekarang.”
“Kurasa sebentar lagi para malaikat akan menarik rohku dari tubuh ini. Aku tak
dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya engkaulah yang bisa kupercaya sekarang.
Dengarkanlah aku baik-baik.” Selama beberapa saat kami terdiam, hanya isak
tangis kami yang bisa menyembuhkan luka yang sudah terlanjur terukir di hati
kami berdua. “Entah sudah berapa
banyak dosa yang kuperbuat selama hidupku. Entah sudah berapa banyak orang yang
telah kusakiti perasaannya. Entah sudah berapa banyak jiwa yang telah kurusak.
Dan aku tak bisa mengembalikannya sepeti semula, semuanya. Hanya engkau yang
bisa melakukannya untukku, Wan. Kau tahu, ketika aku masih kecil, aku telah
ditinggal oleh ayahku, ayah yang menciptakan tubuhku dari darah dan dagingnya
sendiri. Saat aku tumbuh, aku mulai mengenal berbagai macam hal, berdiri,
belajar, menyayangi. Ketika aku membutuhkan ucapan seorang teman, hanya engkau yang mengerti dan bisa
menjadi ayah dan juga teman sejati sekaligus. Aku sungguh beruntung dikaruniai
seorang malaikat sepertimu, Wan.” Tangis kami pecah lagi, bahkan suara-suara
hewan malam yang biasa berbunyi tak lagi terdengar. “Wan, setelah aku pergi nanti, menghadap penciptaku, aku
ingin engkau menjaga ibuku, orangtua satu-satunya yang kukenal, yang
mendewasakan aku dengan figur seorang ayah dan seorang ibu, yang mengenalkan
arti indahnya dunia dan makna hidup yang sebenarnya. Dan datu lagi, Wan… aku
ingin engkau selalu mengingat persahabatan kita, ketika kita saling berbagi
bahagia maupun kepahitan, ketika kita saling mengingatkan apa yang telah kita
perbuat, ketika…” Nafas Arga mulai tertekan. Firasatku sungguh tak tenang,
merasakan kehadiran aura yang tidak baik. Tepat
saat itu, sang dokter datang bersama beberapa orang perawat. Wajah mereka
menunjukkan ketegangan yang luar biasa, pucat, seakan mati. Kami segera menarik
langkah dari kamar itu, memberikan segenap harapan kepada sang dokter. Jarum
jam terasa berjalan begitu pelan, memperdengarkan setiap lentingan gerakannya
di telinga kami. Suasana di koridor itu sungguh mencekam dan penuh dengan
kegelisahan. Selang beberapa saat kemudian
terdengar suara engsel pintu yang dibuka. Berdirilah sang dokter itu di sana.
Spontan kami langsung berlari menghampirinya. “Ibu,
Nak, kuatkan hati kalian.” Dokter itu melihat
ke arah kami berdua bergantian. “Maksud
Dokter? Cepat katakan, Dok! Jangan buat kami cemas!” Mama Arga tampak sangat
marah dan gelisah, berusaha mengumpulkan sisa tenaganya yang telah terkuras,
hingga tampak jelas garis-garis penderitaan di wajahnya. “Maaf, anak Ibu tidak dapat kami selamatkan. Kami sungguh
menyesal. Keinginan Tuhan memang tak bisa diubah. Kita semua harus tegar
menghadapi kenyataan ini.” Dokter itu pun kemudian berlalu setelah mengucapakan
salam kepada kami. Hanya
tinggal kami berdua saja yang berdiri mematung di sana, berpelukan dalam tangis
yang kian menghangat, menitikkan satu demi satu butir kenangan yang tertinggal.
Tubuh Arga didorong keluar dengan sebuah tandu. Wajahnya terlihat sangat pucat.
Aku tak tahan lagi melihat wajah dia! Tidak, Tuhan! Aku tidak kuat! Sontak aku
kemudian berbalik dan berlari meninggalkan jasad Arga dan mamanya yang memeluk
tubuh mati Arga. Jeritan pilu dari mulutku seakan belum cukup untuk
mengembalikan roh Arga kembali ke tubuhnya lagi. Dan aku masih belum berani
menatap jasad Arga sekalipun aku sudah jauh berlari meninggalkan dirinya.
Terlalu menyakitkan untuk melihatnya dengan mata kepalaku sendiri…*** Tak ada yang kukerjakan pagi hari itu,
selain membuang pandangan keluar jendela kamar, menatap jalanan depan rumah
yang basah disiram hujan. Hari itu adalah hari pemakaman Arga dan seharusnya
aku sudah berada di sana, mengantarkan sahabatku itu menuju rumah terakhirnya,
tempatnya bersiap dan menunggu untuk dibangunkan kembali oleh sangkakala
malaikat di akhir waktu. Seharusnya aku sudah mengucapkan selamat beristirahat
padanya. Seharusnya aku sudah menabur bunga dan berdiam memainkan tanah makam
Arga, yang akan selalu setia menemaninya hingga waktu usai. Ibuku menyilangkan tangannya ke pundak aku,
meremas sedikit untuk membuatku tersadar dari lamunan yang panjang. Tak kubalas
sedikitpun pandangannya, malah makin mendalam
menerawang ke arah jalan yang sudah kosong melompong. Akhirnya beliau
angkat bicara, “Ayo, Wan, sudah saatnya makan. Kamu malah akan sakit jika terus
begini.” Aku masih saja membisu. “Baiklah, Ibu akan bilang pada mamanya Arga
kalau kamu tidak mau berbicara.” Mama Arga? Aku tersentak sebentar, meyakinkan
diriku yang baru mendengar ucapan Ibu itu. “Mama
Arga?” Dengan segera aku turun dari tempat tidur dan berjalan lemah menuju
telepon. Kini aku baru menyadari bahwa aku belum makan sejak kemarin siang.
“Halo?” sapaku. “Halo, Wan. Bagaimana keadaanmu? Tante perlu bicara denganmu.
Mungkin kamu bisa datang ke rumah Tante sekarang.” “Ada apa, Tante?” “Ada yang
harus Tante beritahu. Ini tentang Arga. Tante mohon kamu datang secepat
mungkin, ya. Makasih, Wan.” Tanpa menunggu jawaban dariku, beliau langsung
menutup gagang telepon. Aku langsung menyambar jaket yang biasa kupakai, tapi
langsung dicegat Ibu. “Makan dulu, atau kamu tak akan keluar?” Aku tak punya
pilihan lain, ya, memang, perut ini telah melakukan aksi unjuk rasa
besar-besaran, menghancurkan setipis demi setipis dinding lambungku.
Kuselesaikan makan siang, yang sebenarnya tidak tepat lagi jika dikatakan
siang, dan segera berlari mengayuh sepeda ke rumah Arga. “Wan, Tante menemukan surat ini ketika membereskan barang-barang
Arga dari kamarnya. Tante sudah memutuskan untuk mengikhlaskannya menghadap
Allah, dan Tante tidak mau selalu memikirkannya setiap saat, karena Tante tahu
kalau Arga pasti sudah ditemani oleh malaikat-malaikat di sana. Walaupun
begitu, Arga masih anak tunggal Tante yang paling Tante cintai.” Mata beliau
mulai berkaca-kaca, mungkin pemakaman tadi masih membekas di hatinya. “Tante, terima kasih banyak. Kalau begitu,
sebaiknya aku pergi dulu ke makam Arga. Tadi siang aku belum sempat mengucapkan
selamat tinggal padanya.” Aku memegang tangan mama Arga dan mengangguk
perlahan. Kemudian, kembali kukayuh sepedaku tanpa tujuan yang pasti. Kubongkar
lagi semua memori otakku dan kuharap Arga sedang berada di sana sekarang, di
bukit belakang sekolah. Benar dugaanku.
Setelah kuletakkan sepedaku di tanah, aku berlutut di samping makam Arga. Makam
itu masih basah, entah karena siraman hujan atau bekas prosesi tadi pagi.
Kuambil segenggam tanah dan menaburkannya ke tengah taburan bunga. Aku melihat
ke segala penjuru sejenak, kemudian membuka surat yang diberikan mama Arga. Di
sampul surat itu memang tertulis namaku, namun huruf-hurufnya sudah mulai
kabur. “Memang sulit menerima
keadaan yang seharusnya tak kaurasakan. Terasa berat ketika engkau mendapati
dirimu ditengah lautan aroma kematian yang mulai menarik dirimu ke arahnya.
Namun hanya dengan menerimanyalah, aku akan menjadi kuat, karena aku hidup
untuk-Nya dan aku akan mati untuk-Nya. Hanya untuk-Nya. Allah, jika ini yang
Engkau kehendaki, ambillah diriku untuk menyadarkan kami yang berlumur noda
dosa yang tak Kau cintai ini… Ambillah diriku agar kami menyadari betapa
agungnya Engkau ketika membuat dan menarik kami… Sadarkanlah kami dari belenggu
ini, ya Allah. Bimbing langkah kami agar selalu berjalan di jalan-Mu… Amin…” Tak terasa satu demi satu bulir air mata
kembali membasahi pipiku. Kutatap sebentar makamnya dan kucium batu nisannya,
yang beraroma keindahan setiap kebaikan yang dilakukan Arga. Aku segera bangkit
dan menuruni bukit itu. Sekilas aku berbalik dan berbisik perlahan di dalam
hati, “Terima kasih, Arga. Kau selalu menenangkanku, membimbingku menuju
keagungan Tuhan. Arga…”*** Tiga
tahun telah berlalu dan aku kembali mengunjunginya, mendatangi rumahnya yang
kecil namun tenang itu, kembali bersilaturahmi dengan membawa diriku yang baru,
yang terlahir kembali menjadi seorang muslim sejati. Tak lupa kubeli beberapa
bunga segar untuk menemaninya. “Assalamualaikum, Arga. Maaf sudah lama aku tak
mengunjungimu, membersihkan rumahmu yang tentram ini,” aku mengusap tanah
makamnya yang tak rata. “kau tahu, Ga? Akhirnya aku berhasil mencapai cita-citaku,
mewujudkan impianmu, dan menjadi pengikut-Nya yang setia. Aku telah menjadi
seorang muallaf…” senyum yang menunjukkan kebanggaanku terlukis dari wajahku
yang kini tampak segar. “Kita akan bertemu di sana suatu hari nanti.” Aku
kemudian menabur bunga dan berdiri, menatap pohon harapan kami yang menjulang
tinggi di hadapanku. Angin yang bertiup perlahan membelai wajahku seakan
membawa jawaban, “Ya, kita pasti akan bertemu lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar