KESAKSIAN SANG MALAM
Dewi malam kembali menggantungkan dirinya di langit,
menambah ketenangan di malam yang begitu dingin. Dari hamparan rumput tepi
sebuah jurang, terdengar perlahan-lahan suara seruling yang begitu merdu
sekaligus mencekam batin siapa saja yang mendengar alunannya. Sesosok manusia
tampak dari balik sebuah pohon, menatap langit yang berhiaskan butiran-butiran
bintang kecil yang berkilauan bagaikan intan yang enggan diraih siapapun.
Suara seruling ini makin keras, menyebabkan para petugas
ronda yang lewat daerah itu segera menyingkir dan memegangi leher mereka.
Setiap malam bulan purnama, tak ada yang berani menyisiri daerah itu untuk
memastikan keadaan lingkungan mereka. Konon, di sana terdapat seorang manusia
pohon yang telah menjadi penunggu hutan di samping jurang tersebut.
Cerita yang begitu tidak bisa diterima dengan akal sehat
telah menyebar di antara masyarakat setempat, menciptakan sebuah tradisi untuk
meletakkan sesajian di bawah sebuah pohon beringin yang telah tua yang berdiri
kokoh di sisi mulut jurang. Menurut para tetua, pohon itu pernah membantu para
pejuang kemerdekaan bersembunyi dari kejaran pihak penjajah kolonial, sehingga
pohon itu begitu dikeramatkan oleh masyarakat daerah tersebut.
Selang beberapa jam setelah kepergian sang petugas ronda,
sosok manusia tersebut berdiri, terpaku melihat ke dalam jurang. Suara erangan
kecil terdengar, disertai dengan isak tangis wanita. Lama sosok itu menangis,
seraya memanggil nama seseorang, “Lintang… Lintang… Lintang….”
***
“Ayo, Ayah. Cepat turun. Aku sudah tidak sabar lagi ingin
melihat kamar baruku.”
“Tunggu sebentar. Kalau kamu mau lebih cepat, jangan cuma
berdiri saja di sana. Ayo cepat bantu Ayah. Bawa kardus ini ke halaman depan.”
“Tapi, kan, aku ini perempuan, Ayah. Mana sanggup aku
mengangkat kardus sebesar itu. Apalagi yang berisi buku-buku tebal Ayah.
Bisa-bisa nanti Ayah yang akan kerepotan mengurus aku yang pingsan. Kalau sudah
begitu jadinya, masalahnya tak akan selesai lebih cepat. Justru akan bertambah
rumit. Ya kan, Ayah?”
“Ya sudahlah, kalau kamu tak mau membantu. Paling tidak,
bantu ibumu. Kasihan beliau, sudah empat belas jam ia tak mengubah posisi
duduknya karena menggendong adikmu itu. Cepat pergi sana!”
“Ya sudahlah.” Aku kemudian berjalan menuju bagian samping
mobil dan membuka pintu mobil bagian kiri.
“Bu, biar aku saja yang jaga adik. Ibu istirahat saja
sebentar.”
“Jaga baik-baik, ya. Jangan buat adikmu terbangun. Nanti
sulit menidurkannya lagi.” Ibu segera menyodorkan tubuh adikku, yang bisa
dikatakan tak kalah besarnya dengan bayi panda. Aku menyambut tubuh gempal itu
dengan susah payah. Ibu segera turun dari jok mobil dan merenggangkan tubuhnya
serta menarik nafas panjang, menghilangkan seluruh kepenatan yang menyesakkan
dada setelah empat belas jam menahannya.
“Ayo cepat masuk. Barang-barangnya sudah selesai Ayah
keluarkan semua. Dini, ambilkan kunci rumah di dalam locker mobil. Hati-hati
mencarinya.” Dengan cemberut aku kemudian membuka pintu mobil lagi dan mencari
kunci yang terselip di antara kotak P3K. Semenit kemudian baru aku bisa
mengelurkannya dengan selamat. Ayah sudah mengomel-ngomel dari luar sana.
Maklum, kalau saja Ayah bisa melakukannya, beliau pasti akan langsung
melakukannya, ketimbang menyuruh anaknya ini, yang terkesan lamban dan lalai di
matanya.
Seraya menjaga keseimbangan tubuh segumpal daging berbentuk
yang berada di pelukanku, aku kemudian menyocokkan anak kunci dengan
kedudukannya. Perlu semenit lagi untuk membuka pintu rumah baruku tersebut.
Ketika selesai, aku langsung melihat ke arah Ayah dan tersenyum bagaikan tak
bersalah. Muka Ayah sudah memerah, entah karena menahan amarah yang begitu
kompleksnya, menahan rasa letihnya, atau
menahan sakit di tangannya yang mengangkut begitu banyak barang keseharian
kami.
Bruk! Aku menjatuhkan adik di sofa ruang tamu. Seketika itu
juga aku terduduk lemas di lantai, merebahkan tubuh dan merenggangkannya.
Tanganku mulai berdenyut kesakitan dan sedikit kesemutan karena harus menahan
beban seorang bayi yang luar biasa beratnya itu. “Dini! Ayo bantu Ibu
membereskan barang-barang ini. Supaya kita masih bisa membersihkan rumah
sebelum maghrib.” Membersihkan rumah lagi? Astaga! Aku menepuk kening dan tidak
bisa memprotes lebih banyak lagi, karena suaraku seperti sudah dibawa pergi
oleh rasa letih yang melanda hingga ke tulang dan uratku.
Dengan enggan aku kemudian berdiri dan berjalan ke arah Ibu.
Aku hanya tersenyum kecut melihat timbunan barang yang harus kami susun dalam
waktu yang, bisa dikatakan, relatif singkat. “Ibu, aku bereskan dulu, ya,
barang-barangku. Setelah itu aku baru bantu Ibu membereskan barang-barang
dapur. Bagaimana?” Aku kemudian melirik ke mata Ibu dan tersenyum supaya
mengiyakan permohonanku. “Ya terserah kamu saja, deh. Tapi yang cepat, ya. Kalo
jadi perempuan, kerjanya jangan lelet.”
“Makasih, Bu.” Aku kemudian meraih dua buah kardus dan
mendorongnya menuju sebuah ruangan di ujung sana. Ayah memberikan kebebasan
memilih kamar untukku. Sebenarnya, ada empat kamar di rumah baru kami. Namun,
aku sudah mengincar kamar yang terletak paling depan semenjak menggendong adik
di luar tadi.
Kamar itu sudah bersih dan terasa nyaman. Pak De Rahmad
telah membersihkan rumah itu dua hari sebelum kedatangan kami, agar ketika kami
tiba, sudah tidak terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk, paling-paling hanya
menyapu dan mengepel. Pak De Rahmad adalah tukang kebun di rumah kami di
Pekanbaru. Ayah ditugaskan untuk pergi ke sebuah desa pedalaman Riau untuk
melakukan survei. Aku pun tidak tahu entah apa nama desa ini. Yang penting, aku
akan menghabiskan masa liburanku di rumah baru. Setelahnya, bulan depan kami
sudah harus kembali lagi ke Pekanbaru.
Aku menghempas tubuhku ke kasur yang ada di sudut kamar,
menunggu beberapa saat hingga semangatku kembali lagi. Namun tak gampang mengumpulkan
tenaga, karena dari tadi semenjak di jalan, aku sudah harus menahan rasa kantuk
serta menjaga barang-barang yang diletakkan Ibu di sampingku, agar tidak jatuh.
Jalan menuju desa ini tak begitu parah, namun walaupun begitu, kami harus tetap
berhati-hati karena beratnya medan dan struktur geografis daerah ini yang tak
begitu baik. Kasur itu bukanlah spring bed seperti yang ada di rumahku yang
lama, hanya terbuat dari kayu dan dialaskan tilam yang sudah pudar warnanya.
Aku kemudian membuka jendela dan melemparkan pandangan ke luar, melihat
pohon-pohon lebat yang tumbuh di seberang rumah. Di sana, juga tampak sebuah
gubuk yang gelap dan reyot. Dari jendela rumah itu, tampak sesosok wajah yang
hitam sedang melihat ke arahku.
Dengan segera aku membanting jendela dan berlari keluar
kamar menuju ruang tamu. “Ibu!!!!! Ada hantu!!!!” Aku menjerit-jerit ketakutan
dan baru kusadari bahwa aku sudah menangis menjadi-jadi, karena rasa takut yang
begitu kuatnya. Ibu terkejut sesaat mendapati anak gadisnya ini berlarian tanpa
alasan yang jelas. Aku langsung memeluk Ibu dan menangis membasahi jilbab
barunya. “Oaaaaa…” sekarang suara bayi yang terdengar. Aku semakin takut dan
mencengkeram lengan Ibu dengan keras. “Tuh kan, Bu. Apa ku bilang. Di sini ada
hantunya. Tadi ada wajah hantu dan sekarang suara bayi. Kita pulang saja! Aku
sudah tak tahan lagi disini!”
Ibu kemudian menjitak kepalaku dengan cukup keras. “Anak
bodoh! Lihat! Mana hantunya?! Gara-gara kamu, Rayhan jadi bangun! Makin banyak
kerjaan Ibu sekarang! Dasar!” Ibu kemudian mendorong tubuhku dari pundaknya,
kemudian bangkit dan menggendong Rayhan, adikku tercinta. Namun aku hanya
terdiam di sana, masih diliputi ketakutan yang luar biasa, dan memilih duduk di
sofa ruang tamu ketimbang berada di kamar dan melihat wajah menakutkan itu
lagi.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dan mendapati diriku masih
berada di sofa ruang tamu. Ternyata aku tertidur di sana. Suasana subuh yang
mencekam mendorongku berlari menuju kamar Ayah dan Ibu di belakang rumah. Tanpa
mengetuk pintu lagi, aku segera mendorong pintu dan menutupnya dengan
punggungku. Untung saja, bantingan pintu yang begitu keras tidak membangunkan
Ayah dan Ibu. Mungkin mimpi yang mereka dapatkan lebih besar efeknya daripada
bantingan pintuku itu. Aku kemudian menyelinap di bawah kaki Ibu dan tertidur
disana. Bruk! Belum semenit aku tidur, aku sudah merasa didorong seseorang. Ibu
kemudian bangun. “Astagfirullah al aziim… Maafkan dosaku, ya Allah…”
“Maaf, Bu. Ketiduran. Ibu sudah sholat? Ayo sholat
sama-sama.”
“Hah? Sudah waktunya sholat subuh? Astagfirullah… Ayo, cepat
ambil wudhu.” Ibu kemudian bangkit dari ranjang dan membangunkan Ayah untuk
sholat bersama. Sebenarnya, panggilan sholat itu merupakan alasanku untuk tidak
sholat sendirian. Namun, ternyata rencana refleks itu ampuh juga. Selepas
sholat, aku kemudian membantu Ibu membersihkan ruang tamu dan halaman depan.
Saat berada di luar, sengaja kusapu hanya pada bagian yang paling sering
dilewati saja, karena ketakutan kembali memelukku saat memandang gubuk di
seberang rumah.
Paginya, Ibu segera membuatkan mie instan sebagai sarapan
kami. Ternyata mie yang biasa tak kugemari itu mampu meluluhkan hati sekaligus
perut yang berteriak meminta diisi. Setelah itu, aku mengambil MP3 Player dari
dalam tas yang kuletakkan di dapur, dan merebahkan diri di sofa. “Dini! Ayo ke
sini! Bantu Ibu sebentar, Nak.” Aku menurut saja. Ibu kemudian meletakkan
beberapa bingkisan yang telah dimasukkan ke dalam plastik dan siap untuk
dibagikan ke tetangga. Mungkin isi bingkisan itu makanan, pikirku. “Bantu Ibu,
Nak. Tolong bagikan bingkisan ini sebagai tanda perkenalan dengan tetangga
kita. Ibu harus menjaga Rayhan. Ayah sedang tidur. Jadi, kamu sajalah yang
pergi. Tolong ya.” Ujar Ibu tanpa melihat wajahku. “Ah, Ibu. Bagaimana kalau
aku saja yang jaga Rayhan, sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga?” aku berusaha
membujuk Ibu dengan kata-kata manis. “Aduh. Kamu jangan egois begitu, dong.
Dari kemarin kam kamu belum melakukan apa-apa. Jadi, sebagai hukumannya, kamu
saja yang bagikan ke tetangga, ya.” Ibu juga berusaha membujukku dengan
kata-kata menis, lengkap dengan ciuman di kening. Kalau sudah begini ceritanya,
aku tidak bisa berkata-kata lagi. Ya sudahlah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Jangan
ketinggalan barang satu rumahpun, ya. Makasih, sayang.” Ibu kemudian
menggendong Rayhan dan menyusuinya. Aku kemudian berdiri di depan rumah,
menentukan arah yang harus kutempuh. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan ke arah
kiri dulu. Namun, langkahku kupercepat saat melewati gubuk itu. Kutekadkan
untuk tidak pergi ke rumah itu. Dua jam kemudian, aku sudah kembali dengan
membawa satu bungkusan terakhir. Perkiraan Ibu memang tepat, jumlah rumah
penduduk di desa itu sama dengan jumlah bingkisan yang Ibu beli.
Kutimang-timang bingkisan yang terkhir itu dan berjalan masuk ke rumah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Wah, bingkisannya lebih satu, ya?”
“Sebenarnya ada satu rumah lagi yang belum Andini kunjungi.
Tapi, Ibu sajalah yang ke sana. Rumahnya dekat, kok. Cuma di seberang rumah.
Itu tuh, gubuk yang itu.”
“Waduh, kamu ini. Masa cuma di seberang rumah saja tidak mau
mengantarnya. Keterlaluan kamu, Din.” Ibu hanya menggelengkan kepala sambil
mengganti popok Rayhan, kemudian menaikkannya ke punggung dan meliliti badan
gempal itu dengan kain. “Tapi rumah yang satu ini beda, Bu. Pokoknya aku tak
mau masuk ke sana. Ibu saja, deh, yang pergi.” “Tapi Ibu masih harus mengurusi
Rayhan. Kamu sajalah. Nanti Ibu buatkan kue bolu kesukaanmu.”
Kalau sudah begini, aku kembali tak bisa berbuat banyak.
Tanganku mulai gemetaran saat mengulang semua memori yang kusimpan kemarin.
Bismillahirrahmanirrahiim… tanpa kusadari, kakiku mulai melangkah menuju pintu,
menarik gagangnya yang sudah kasar.
“Assalamualaikum…” Deg…deg…deg…
“Assalamualaikum…” aku mengulang kembali salamku, kali ini
lebih keras, berusaha untuk membangunkan telinga wanita tua itu yang barangkali
sudah berkarat karena dimakan usia.
Sedetik kemudian aku mendengar suara seretan langkah kaki yang berat dan menyeramkan.
“Astagfirullah… Allahu Akbar… Allahu Akbar…” jeritku dalam
hati.
“Waalaikumsalam…” suara wanita itu bak petir di siang hari,
terlalu berat untuk suara seorang tua. Derik pintu semakin membuat kesan angker
menari dalam teriknya siang. Udara yang semula terasa hangat mulai terusir oleh
semilir angin dingin yang memapah tubuhku. Wajahnya yang kasar dan besar
mengingatkanku pada seorang makrosepalus yang biasa kutemui di ujung jalan
menuju sekolah. Mataku seolah berpaling dari sorotan wanita itu, mencoba
merangkai kata yang cocok untuk memulai sebuah perkenalan yang mungkin tak akan
pernah terjalin lagi.
“Um.. permisi, kami yang baru pindah ke daerah ini. Rumah
kami terletak di seberang sana. Kalau Nenek memerlukan sesuatu, nenek tak perlu
segan-segan untuk ke sana. Tolong diterima, Nek.”
Bisa kutebak tak ada senyuman yang melengkung di wajahnya,
yang jika kubandingkan, aku lebih suka menyebutnya kawah. Tangannya yang sudah
mengelupas mulai mendekati bingkisan yang kuberikan. Ya Allah, selamatkanlah
hamba-Mu ini, ucapku dalam hati.
“Terima kasih, Nak.” Bisa kurasakan kekuatannya, yang cukup
untuk membuat diriku tertarik ke depan. Setelah itu, dia menghilang begitu
saja, masuk ke rumahnya yang sederhana dan reot. Urat-urat kakiku sudah tak
beraturan lagi, merasa cukup lega setelah melewati momen-momen yang tak jauh
beda dengan cengekeraman Izrail. Aku termenung di sana, entah harus menangis
atau tersenyum.
***
Suara jangkrik mulai terdengar menyelinap di antara
kedamaian dan kelamnya malam. Anak-anak mulai berkumpul di lapangan dan
memeriahkan kesempurnaan mahkota langit di malam hari. Ia bersinar dengan
terang serta membawa keceriaan anak-anak kembali ke pangkuan mereka.
Bintang-bintang yang melayang bagai mengucapkan salam hangat kepada siapa saja
yang menatapnya.
Aku kembali membisu dalam kamar, membaca buku-buku milik Ibn
Sina yang menjadi sebuah akar pemikiran batinku. Ayah dan Ibu pergi ke rumah
ketua RT sekadar bersilaturahmi dan berkenalan dengan warga yang kebetulan
lewat di sekitar sana. Merasa bosan, aku mulai beranjak menuju meja belajar dan
mengeluarkan notes kecil pribadiku. Kubuka lembaran-lembaran yang telah kutulis
sebelumnya, berisi tentang semua keagungan dan keajaiban bumi Allah yang maha
luas ini. Entah mengapa hatiku menuntun tangan menggores tinta pena ke
lembaran-lembaran catatan kecil itu…
“Goresan memori silam hanya dapat meninggalkan fragmen hati
yang telah usang
Yang tersenyum samar menyembunyikan rahasia ilahi
Di antara jagad kegelapan aku mencari jati diri, menemukan
diriku yang sebenarnya
Yang barangkali telah merasuk bersama sekelumit serabut noda
Dan aku mulai bertingkah bak tokoh teater di panggung
kebohongan
Yang hanya tersenyum manja, padahal menjerit dalam hati
Saat disiksa di tengah jagad batin yang kelam…”
Aku terhenti sesaat, ketika mendengar suara bantingan yang
cukup keras dari rumah di seberang sana. Jantungku berpacu seirama dengan derap
kaki sang waktu, merangkai pikiran yang bercabang entah ke muara mana. Suara
itu terdengar lagi, bahkan terasa lebih kuat. Tanganku sudah bersiap-siap
meraih telepon genggam dan menelepon ayah, namun rasa penasaran lebih merajai
perasaanku saat itu.
Tak perlu waktu yang cukup lama untuk mencapai gubuk di
seberang rumah itu. Namun, kali ini aku mempersenjatai diriku dengan sebuah
tongkat besi milik Ayah yang disimpan di dalam mobil. Bulu kuduk mulai
mencengkeram kulit dan berusaha mengikuti hembusan tipis sang angin malam.
Halaman depan yang sangat tak terawat disertai lembaran-lembaran daun kering
dan lengkingan serangga kecil mulai menambah cekaman suasana itu. Sesaat
kemudian, pintu itu berderik dan menunjukkan tanda-tanda bahwa sebentar lagi
sang pemilik gubuk akan keluar. Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja kuambil
langkah seribu menuju rumah Pak RT, berlari ke dalam hangatnya pelukan Ayah dan
Ibu.
***
Kabut tipis yang beraroma menari bersenda gurau dengan
terangnya purnama. Aku hanya dapat menahan hawa dingin di balik kulit yang
tipis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar